Friday, 29 January 2016

Teori Resepsi Sastra



PANGJAJAP

          Puji sinareng sukur sim kuring saparakanca sumanggakeun ka Gusti nu Maha Suci, mungguhing Ridho ti Anjeunna sim kuring saparakanca tiasa ngarengsekeun ieu makalah.
            Makalah ieu eusina nyaeta ngeunaan Teori resepsi Sastra nu mangrupakeun tugas kelompok mata kuliah Teori Sastra.
            Ari kakirangan pasti aya bae, sim kuring saparakanca neda sih hapunten. Salian ti eta sim kuring saparakanca oge miharep pisan saran sareng kritikna hususna ti kersana dosen mata kuliah Teori Sastra. Pamungkas sim kuring saparakanca ngaharepkeun pamugi makalah ieu aya mangpaatna hususna pikeun sim kuring saparakanca oge pikeun saha bae nu maca makalah ieu.


                                                                                                                          Kuningan, Mei 2011

                                                        Tim Panulis







TEORI RESEPSI SASTRA

1.    Pendahuluan
Pada sekitar akhir tahun 70-an model pendekatan dalam kritik sastra ikut diramaikan oleh teori estetika resepsi; atau dalam posisinya di antara berbagai macam pendekatan lain dalam analisis teks sastra lebih umum dikenal dengan istilah resepsi sastra. Ada dua tokoh yang pertama kali secara sistematis dan metodologik merumuskan model pendekatan ini, yakni Jauss dan Iser; keduanya dari Jerman. Setelah tulisan-tulisan mereka dikenal oleh dunia, mulailah terlihat bagaimana model analisis teks dan teori-teori sastra mendapatkan kesegaran dan sudut pandang baru. Pengaruh paling radikal setidaknya terlihat pada sebuah buku yang berjudul Kritik Sastra Subjektif (David Bleich) yang dikomentari Selden sebagai sebuah argumen canggih; yang setuju pergeseran paradigma kritik sastra objektif ke kritik yang bersifat subjektif. Apalagi jika hendak dibicarakan bagaimana pengaruhnya pada aliran dekonstruksionisme yang sedang hangat-hangatnya disoroti pada zaman paskamodernisme ini.
          Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
          Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi terasa benar saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis, postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
2.    Pengertian Menurut Para Ahli
2.1  Menurut Hans Robert Jauss
Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
          Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. (Jauss 1983: 21)
          Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
          Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12) suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang diharapkan.
          Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan dari pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).
          Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.
2.2   Menurut Wolfgang Iser
            Wolfgang Iser (1926 -), yang dianggap sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di Teori resepsi,menunjukkan pentingnya proses sastra, juga. Iser mengambil pendekatan fenomenologis PenerimaanTeori dan dia "decontextualizes dan dehistoricizes teks dan pembaca " Iser berpendapat bahwa keterlibatan pembaca bertepatan dengan arti produksi dalam sastra.Teori resepsi antara lain dikembangkan oleh RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika. (1978) Didalam pengantarnya ia menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptieesthetika geintroduceerd" (RT. Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi esthetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada akhir taboo 60-an. la menunjuk artikel Roman Jacobson: "Linguisties and Poeties"(1960) yang berisi sebuah model komunikasi. Pada penerbitan yang terdahulu D.W. Fokkema dkk. (1977)menyajikan "The Rezeption of Literature: Theory and Practice of'Rezeptionns aesthetik" dalam bab 5 bukunya yang berjudul "The ories of Literature in The Twentieth Century. Di dalam bab 5 mereka mengutip pendapat Lotman (1972) "Infact, the literary work consist of the text (the system of intra-textualrelations) in its relation toextra-textual reality: 10literary norms, tradition and the imagination". Selanjutnya ia mengutip pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) "Reception (therefore) occurs as a process creatingmeaning, which realizes the instructions given in the linguistic appearance of the text" (D.W Fokkema,1977: 137).Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi estetika yang diletakkan oleh Hans Robert ]auss dan Wolfgang Iser. Menurut ]auss (1970) ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:(1) norma-norma genre terkenal teks yang diresepsi;(2) relasi implisit dengan teks yang telah dikenal dari periode sejarah sastrayang sarna;(3) kontradiksi flksi dengan kenyataan.Ada tiga macam pembaca:
 
(1)   Pembaca sesungguhnya(2) Pembaca implisit(3) Pembaca eksplisit. Menurut Segers (1975) pembaca sesungguhnya termasuk kategori yang paling mendapat perhatian,termasuk dalam toori esthetika. Menurut Iser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan yangterletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen di dalam teks yang diberikan.

2.3   Menurut Teeuw
      Menurut Teeuw (2003: 42), Abrams telah memberikan kerangka kerja yang sederhana, tetapi cukup efektif berkaitan dengan teori sastra. Teori tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

                                                      (Semesta)
                                                       Universe


                                                      Work (Karya)


                              (Pencipta) Artist               Audience (pembaca)

      Dengan skema tersebut, dapat dikemukakan empat pendekatan dalam studi sastra, pendekatan mimetik, ekspresif, objektif, dan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik inilah yang berkaitan pembaca. Kajian yang memfokuskan pada pembaca inilah yang disebut kajian reseptif. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985: 1).
2.4  Menurut Ratna
            Ratna (2004: 71-72) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan salah satu teori sastra modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi…. masalah-masalah yang dapat dipecahkan, melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Tanggapan tersebut dapat bersifat pasif, pembaca dapat memahami dan melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya dan bisa juga bersifat aktif, yaitu pembaca merealisasikannya.
2.5  Menurut Beach
            Beach (1993: 7-8) mengemukakan lima perspektif pada respon, yaitu tekstual (textual), pengalaman (experiential), psikologis (psychological), sosial (social), dan budaya (cultural). Berdasarkan lima perspektif tersebutlah, Beach memahami respon pembaca terhadap teks. Seseorang akan merespon suatu teks sesuai dengan pengetahuan tekstualnya, misalnya, ketika merespon cerita misteri, pembaca dengan konsep-konsep yang ada dalam dirinya tentang cerita misteri untuk memprediksi tentang cerita tersebut.

2.6  Menurut Segers
Segers (1978: 109) membedakan resepsi pembaca terhadap sastra menjadi dua, yaitu intelektual dan emosional. Resepsi yang termasuk dalam kategori intelektual bila yang diresepsi berkaitan dengan hal-hal yang tekstual, misalnya, resepsi berkaitan dengan bahasa, tokoh, alur, dan lain-lain. Untuk yang emosional, pembaca memberikan tanggapan berdasarkan persaannya (emosi), misalnya, menegangkan, menyedihkan, ikut terhanyut, dan lain-lain.

2.7  Menurut Pradopo
            Pradopo (2007: 210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.

3.    Konsep Horison Harapan
Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
 Horizon harapan seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan. 
Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
 Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang mendominasi.
 Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca; (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca; (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks; dan (5) situasi penerimaan seorang pembaca.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca; (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.

4.    Perbedaan Teori Jauss dan Iser
Poin paling penting dalam pendekatan resepsi sastra adalah bagaimana peran (setiap) pembaca–dengan segala persamaan dan perbedaan tipikalnya–dalam menafsirkan teks (sastra) mulai diperhitungkan. Antara Jauss dan Iser sebetulnya terdapat perbedaan konsepsi tentang analisis resepsi ini. Jauss lebih membicarakan tentang penerimaan aktif–pembacaan yang diikuti oleh penciptaan karya baru oleh pembaca tersebut–sehingga membentuk garis kesinambungan sejarah penerimaan; lebih jauh tentang ini bisa dilihat pertemuannya dengan pendekatan dan teori intertekstualitas. Sedang Iser lebih menekankan model analisisnya pada kemampuan atau cara teks (dan penulis) mempengaruhi (penafsiran) pembaca; atau dirumuskan oleh Iser dengan konsep tentang efek (wirkung, dalam bahasa Jerman). Sebab pembicaraan tentang pembaca (yang mahaluas) inilah barangkali yang mengakibatkan kemandegan usaha pengembangan model pendekatan ini. Sesuatu yang cukup “beresiko”, untuk menjelaskan (secara ilmiah) sebuah objek yang sangat besar macam variabelnya, dan tambah pula, sangat tinggi tingkat mobilitasnya. Objek tersebut iaitu manusia; yang hidup, berpikir, mempengaruhi, dan dipengaruhi. Upaya generalisasi sepertinya juga sulit untuk diterapkan. Berbeda dengan kajian-kajian sosial lainnya, kajian sastra memiliki tuntutan tersendiri yang berupa “penghargaan besar” terhadap “segala keunikan satuan estetiknya”.
Jauss sebetulnya juga telah berusaha menghindari kesemerawutan identifikasi pembaca tersebut dengan memfokuskan penelitiannya pada penerimaan yang bersifat aktif–sehingga ada pembuktian secara interteks. Begitupun Iser, ia mengemukakan klasifikasi tentang pembaca dengan membedakan antara pembaca sebenarnya (real reader) dengan pembaca yang disarankan oleh teks (implied reader). Yang terakhir ini dapat kita temui pada pembaca ahli–yang bagaimanapun dengan segala keterbatasannya pula–sebab seorang ahli melakukan penafsiran teks telah dibekali oleh seperangkat alat analisis; tidak sekedar sudut pandang impresi dan latar belakang subjeksinya. Sehingga dengan itu diharapkan sudut pandang yang dihadirkan oleh teks–barangkali untuk kali ini perlu dipisahkan dari “niat semula” pengarangnya–dapat ditangkap dengan sebaik-baiknya.

5.    Rangkuman
Teori resepsi sastra adalah teori pendekatan sastra yang mementingkan pendapat pembaca dari sebuah karya sastra, seperti tanggapan umum yang sering berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Jadi dalam menilai, mengintrepretasi, dan mengevaluasi sebuah karya sastra berasal dari pikiran dari pembaca.
            Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu.Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh horizon harapan. " Horizon harapan " ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak.









DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Post a Comment