PANGJAJAP
Puji sinareng sukur sim kuring saparakanca
sumanggakeun ka Gusti nu Maha Suci, mungguhing Ridho ti Anjeunna sim kuring
saparakanca tiasa ngarengsekeun ieu makalah.
Makalah ieu eusina nyaeta ngeunaan
Teori resepsi Sastra nu mangrupakeun tugas kelompok mata kuliah Teori Sastra.
Ari kakirangan pasti aya bae, sim
kuring saparakanca neda sih hapunten. Salian ti eta sim kuring saparakanca oge
miharep pisan saran sareng kritikna hususna ti kersana dosen mata kuliah Teori
Sastra. Pamungkas sim kuring saparakanca ngaharepkeun pamugi makalah ieu aya
mangpaatna hususna pikeun sim kuring saparakanca oge pikeun saha bae nu maca
makalah ieu.
Kuningan,
Mei 2011
Tim Panulis
TEORI RESEPSI SASTRA
1.
Pendahuluan
Pada sekitar
akhir tahun 70-an model pendekatan dalam kritik sastra ikut diramaikan oleh
teori estetika resepsi; atau dalam posisinya di antara berbagai macam
pendekatan lain dalam analisis teks sastra lebih umum dikenal dengan istilah
resepsi sastra. Ada dua tokoh yang pertama kali secara sistematis dan
metodologik merumuskan model pendekatan ini, yakni Jauss dan Iser; keduanya
dari Jerman. Setelah tulisan-tulisan mereka dikenal oleh dunia, mulailah terlihat
bagaimana model analisis teks dan teori-teori sastra mendapatkan kesegaran dan
sudut pandang baru. Pengaruh paling radikal setidaknya terlihat pada sebuah
buku yang berjudul Kritik Sastra Subjektif (David Bleich) yang dikomentari
Selden sebagai sebuah argumen canggih; yang setuju pergeseran paradigma kritik
sastra objektif ke kritik yang bersifat subjektif. Apalagi jika hendak
dibicarakan bagaimana pengaruhnya pada aliran dekonstruksionisme yang sedang
hangat-hangatnya disoroti pada zaman paskamodernisme ini.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang,
waktu, dan golongan sosial. Secara
definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception
(Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam
arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang
dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan
pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009: 165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada
cara-cara studi literer yang kemudian
banyak dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti
menjadi seterbuka dan seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut
menjadi terasa benar saat teori resepsi
dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,
postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori
itu ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu
lebih produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks,
pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu direfleksikan kembali agar
perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain dalam kritik
sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
2.
Pengertian
Menurut Para Ahli
2.1 Menurut Hans
Robert Jauss
Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang
terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori
resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan
sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks
(Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang
diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und
wirkungsästhetik atau estetika tanggapan
dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan
memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan
nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah
karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka
sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing.
Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman pembaca yang dimaksud
mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam
kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap
periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu
yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan
mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks
yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini,
kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi
dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman
sebelumnya. (Jauss 1983: 21)
Teori resepsi tidak hanya memahami
bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan
pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian
rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam
konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra
terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya
sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman
berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan
oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.
Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi
adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra,
dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai
kekuatan pembentuk sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12) suatu karya sastra
dapat diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan
tertentu yang diharapkan.
Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak
awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Apresiasi
pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui
tanggapan-tanggapan dari pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi
dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak
pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut.
Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan
karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut.
Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat
historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang
terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.
2.2 Menurut
Wolfgang Iser
Wolfgang
Iser (1926 -), yang dianggap sebagai salah satu tokoh paling terkemuka di Teori
resepsi,menunjukkan pentingnya proses sastra, juga. Iser mengambil pendekatan
fenomenologis PenerimaanTeori dan dia "decontextualizes dan dehistoricizes
teks dan pembaca " Iser berpendapat bahwa keterlibatan pembaca bertepatan
dengan arti produksi dalam sastra.Teori resepsi antara lain dikembangkan oleh
RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika. (1978) Didalam pengantarnya ia
menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de
receptieesthetika geintroduceerd" (RT. Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa
resepsi esthetika telah diperkenalkan di Jerman Barat pada akhir taboo 60-an.
la menunjuk artikel Roman Jacobson: "Linguisties and Poeties"(1960)
yang berisi sebuah model komunikasi. Pada penerbitan yang terdahulu D.W.
Fokkema dkk. (1977)menyajikan "The Rezeption of Literature: Theory and
Practice of'Rezeptionns aesthetik" dalam bab 5 bukunya yang berjudul
"The ories of Literature in The Twentieth Century. Di dalam bab 5 mereka mengutip
pendapat Lotman (1972) "Infact, the literary work consist of the text (the
system of intra-textualrelations) in its relation toextra-textual reality:
10literary norms, tradition and the imagination". Selanjutnya ia mengutip
pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) "Reception (therefore) occurs as a
process creatingmeaning, which realizes the instructions given in the
linguistic appearance of the text" (D.W Fokkema,1977: 137).Buku Receptie
Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi estetika yang diletakkan oleh Hans
Robert ]auss dan Wolfgang Iser. Menurut ]auss (1970) ada tiga dasar faktor
cakrawala harapan yang dibangun pembaca:(1) norma-norma genre terkenal teks
yang diresepsi;(2) relasi implisit dengan teks yang telah dikenal dari periode
sejarah sastrayang sarna;(3) kontradiksi flksi dengan kenyataan.Ada tiga macam
pembaca:
(1) Pembaca
sesungguhnya(2) Pembaca implisit(3) Pembaca eksplisit. Menurut Segers (1975)
pembaca sesungguhnya termasuk kategori yang paling mendapat perhatian,termasuk
dalam toori esthetika. Menurut Iser (1973) pembaca implisit adalah peranan bacaan
yangterletak di dalam teks itu sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual
bagi pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit imanen di dalam teks yang
diberikan.
2.3 Menurut Teeuw
Menurut Teeuw (2003: 42), Abrams telah memberikan kerangka kerja yang
sederhana, tetapi cukup efektif berkaitan dengan teori sastra. Teori tersebut
dapat dikemukakan sebagai berikut.
(Semesta)
Universe
Work (Karya)
(Pencipta) Artist
Audience (pembaca)
Dengan skema tersebut, dapat dikemukakan empat pendekatan dalam studi sastra,
pendekatan mimetik, ekspresif, objektif, dan pendekatan pragmatik. Pendekatan
pragmatik inilah yang berkaitan pembaca. Kajian yang memfokuskan pada pembaca
inilah yang disebut kajian reseptif. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana
“pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat
memberikan atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985: 1).
2.4 Menurut Ratna
Ratna (2004:
71-72) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan salah satu teori sastra modern
yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi…. masalah-masalah yang
dapat dipecahkan, melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai tanggapan
masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca
eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
Tanggapan tersebut dapat bersifat pasif, pembaca dapat memahami dan melihat
hakikat estetika yang ada di dalamnya dan bisa juga bersifat aktif, yaitu
pembaca merealisasikannya.
2.5
Menurut Beach
Beach (1993:
7-8) mengemukakan lima perspektif pada respon, yaitu tekstual (textual),
pengalaman (experiential), psikologis (psychological), sosial (social),
dan budaya (cultural). Berdasarkan lima perspektif tersebutlah, Beach
memahami respon pembaca terhadap teks. Seseorang akan merespon suatu teks
sesuai dengan pengetahuan tekstualnya, misalnya, ketika merespon cerita
misteri, pembaca dengan konsep-konsep yang ada dalam dirinya tentang cerita
misteri untuk memprediksi tentang cerita tersebut.
2.6 Menurut Segers
Segers (1978: 109) membedakan resepsi
pembaca terhadap sastra menjadi dua, yaitu intelektual dan emosional. Resepsi
yang termasuk dalam kategori intelektual bila yang diresepsi berkaitan dengan
hal-hal yang tekstual, misalnya, resepsi berkaitan dengan bahasa, tokoh, alur,
dan lain-lain. Untuk yang emosional, pembaca memberikan tanggapan berdasarkan
persaannya (emosi), misalnya, menegangkan, menyedihkan, ikut terhanyut, dan
lain-lain.
2.7 Menurut Pradopo
Pradopo
(2007: 210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode.
Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan
penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra
yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.
3.
Konsep Horison
Harapan
Horizon
harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca
sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan
pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan
pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari
oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam
kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu
menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang
dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horizon harapan seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi
suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan
ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang
terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua,
ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu
kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari
harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang
kehidupan.
Menurut
Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2)
pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat
melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap
pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa
nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
Kehadiran
makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon
harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem
interpretasi dalam masyarakat pembaca di lain
pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan
pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri
estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan
pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru
yang mendominasi.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah
peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman
kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss 1983:
21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra dan estetika,
melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar
pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal,
dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca; (3) kompetensi atau
kesanggupan bahasa dan sastra pembaca; (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya
mempertanyakan teks; dan (5) situasi penerimaan seorang pembaca.
Konsep
horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca
oleh pembaca; (2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah
dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya
kemampuan pembaca memahami teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun
dari pengetahuan tentang kehidupan.
4.
Perbedaan
Teori Jauss dan Iser
Poin paling
penting dalam pendekatan resepsi sastra adalah bagaimana peran (setiap)
pembaca–dengan segala persamaan dan perbedaan tipikalnya–dalam menafsirkan teks
(sastra) mulai diperhitungkan. Antara Jauss dan Iser sebetulnya terdapat perbedaan
konsepsi tentang analisis resepsi ini. Jauss lebih membicarakan tentang
penerimaan aktif–pembacaan yang diikuti oleh penciptaan karya baru oleh pembaca
tersebut–sehingga membentuk garis kesinambungan sejarah penerimaan; lebih jauh
tentang ini bisa dilihat pertemuannya dengan pendekatan dan teori
intertekstualitas. Sedang Iser lebih menekankan model analisisnya pada
kemampuan atau cara teks (dan penulis) mempengaruhi (penafsiran) pembaca; atau
dirumuskan oleh Iser dengan konsep tentang efek (wirkung, dalam bahasa Jerman).
Sebab pembicaraan tentang pembaca (yang mahaluas) inilah barangkali yang
mengakibatkan kemandegan usaha pengembangan model pendekatan ini. Sesuatu yang
cukup “beresiko”, untuk menjelaskan (secara ilmiah) sebuah objek yang sangat besar
macam variabelnya, dan tambah pula, sangat tinggi tingkat mobilitasnya. Objek
tersebut iaitu manusia; yang hidup, berpikir, mempengaruhi, dan dipengaruhi.
Upaya generalisasi sepertinya juga sulit untuk diterapkan. Berbeda dengan
kajian-kajian sosial lainnya, kajian sastra memiliki tuntutan tersendiri yang
berupa “penghargaan besar” terhadap “segala keunikan satuan estetiknya”.
Jauss sebetulnya juga telah
berusaha menghindari kesemerawutan identifikasi pembaca tersebut dengan
memfokuskan penelitiannya pada penerimaan yang bersifat aktif–sehingga ada
pembuktian secara interteks. Begitupun Iser, ia mengemukakan klasifikasi
tentang pembaca dengan membedakan antara pembaca sebenarnya (real reader)
dengan pembaca yang disarankan oleh teks (implied reader). Yang terakhir ini
dapat kita temui pada pembaca ahli–yang bagaimanapun dengan segala
keterbatasannya pula–sebab seorang ahli melakukan penafsiran teks telah
dibekali oleh seperangkat alat analisis; tidak sekedar sudut pandang impresi
dan latar belakang subjeksinya. Sehingga dengan itu diharapkan sudut pandang
yang dihadirkan oleh teks–barangkali untuk kali ini perlu dipisahkan dari “niat
semula” pengarangnya–dapat ditangkap dengan sebaik-baiknya.
5.
Rangkuman
Teori
resepsi sastra adalah teori pendekatan sastra yang mementingkan pendapat
pembaca dari sebuah karya sastra, seperti tanggapan umum yang sering
berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Jadi dalam menilai, mengintrepretasi,
dan mengevaluasi sebuah karya sastra berasal dari pikiran dari pembaca.
Resepsi sastra secara singkat dapat
disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada
pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu.Pembaca selaku
pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya.
Menurut perumusan teori ini, dalam memberikan sambutan terhadap sesuatu karya
sastra, pembaca diarahkan oleh horizon harapan. " Horizon harapan "
ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu pihak dan sistem interpretasi
dalam masyarakat penikmat di lain pihak.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment