AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN
BUDAYA INDONESIA
Pengakuan budaya tionghoa sebagai bagian budaya nasional,
sudah semestinya dilakukan karena interaksi antar keduanya berlangsung cukup
lama dan menghasilkan kebiasaan baru bagi keduanya. Dalam sejarah Nasional,
orang-orang Tionghoa memberi kontribusi terhadap kemerdekaan dan pembangunan di
Indonesia. Sehingga dikotomi warga keturunan dengan bangsa Indonesia sudah
semestinya ditiadakan. Namun disini penulis membatasi pada pembahasan silang budaya
jawa dan tionghoa. Sebab dengan pembahasan ini sudah memberi gambaran fakta
akan adanya akulturasi budaya tionghoa dengan pribumi.
Dalam agama islam ada salah satu sunnah Rasul yang
menyarankan : tuntutlah ilmu hingga ke negeri cina ! Mengapa Cina direferensikan
sebagai negara tujuan. Jawabnya tentu bukan karena cina basis agama Islam.
Melainkan karena Cina sudah memiliki peradaban tinggi sebelum masa Islam
berkembang. Penduduk Cina sudah menguasai ilmu astronomi bahkan mempunyai
tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk mengawetkan mayat sampai
membuat obat bahan peledak. Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah
orang Cina bisa mengembara ke Asia Tenggara (termasuk Indonesia) hingga ke
Timur Tengah. Penyebaran orang-orang Tionghoa ke seluruh pelosok negara ini
selain urusan berdagang juga urusan menyebarkan agama Budha dan Islam.
Perkenalan dengan agama Islam ini, menurut Imelda dalam
artikelnya di situs Beranda berjudul Budaya Tionghoa Bagian Dari Budaya
Nusantara (14/12/2006), didapat dalam perantauan mereka ke Arab. Dengan
teknologi tulis menulis dan cetak mencetak yang dimiliki orang Tionghoa sangat
membantu bangsa Arab untuk menyusun Al-Qur’an. Sebaliknya, orang Tionghoa
memperoleh bekal ajaran Islam ini yang kemudian mereka sebarkan ke negaranya
sendiri hingga ke Asia Tenggara.
Kedatangan pertama orang-orang tionghoa ke Indonesia
dibuktikan dengan catatan Fa Xian, seorang bhikhu senior dinasti Jin Timur.
Pada tahun 411, kapalnya hanyut dan Fa xian singgah di Yapon (pulau jawa). Fa Xian
merantau selama 5 bulan dan membuat catatan mengenai pulau jawa.
Bhikhu senior lainnya adalah Hui Neng dari dinasti Tang yang
tiba di pulau jawa pada tahun 664-665. Selama 3 tahun ia bekerja sama dengan
bhikhu Janabadra dari jawa untuk menerjemahkan kitab-kitab Agama Budha. Hui
Neng cukup mahir berbahasa Jawa Kuno, yang menjadikannya lebih mudah bergaul
dengan masyarakat Jawa. Ia mengajarkan makanan sayuran kepada masyarakat
sekitarnya. Berikutnya, Hui Neng membawa 20 bhikhu senior lainnya di pulau jawa.
Masuknya kelompok Tionghoa ke Jawa Timur utamanya terdapat
di buku Nanyang Huarena (1990) berjudul ‘The 6th overseas Chinese state’.
Kertanagara, raja Singasari yang terakhir, pada thn.1289 telah menantang wibawa
kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau
memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim
tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut, Kertanagara
pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika
tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara,
menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja
Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil
membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri).
Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik
menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal
Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit
dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah
perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak
menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol
kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang
dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa
Timur.
Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari
1294. Antara tahun 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah
membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian
menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai
menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.
Gelombang kedatangan orang-orang Tionghoa berikutnya terjadi
saat pelayaran Laksamana Cheng Ho yang membawa Armada besar, dengan 62 kapal
besar dan lebih 200 kapal kecil, bersama lebih 27 ribu orang awak kapal pada
tahun 1405. Pelayaran ini berturut-turut terjadi sebanyak 7 kali, pada tahun
1407, tahun 1412,tahun 1416, tahun 1421, tahun 1424 dan terakhir tahun 1430.
Kehadiran para orang-orang Tionghoa ini melakukan interaksi
dengan masyarakat pribumi. Mereka ada yang menikah dengan wanita-wanita pribumi
dan saling bertukar kebudayaan. di Pantai Utara Jawa itu di samping menyebarkan
ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena itu di Sunda Kelapa (Pelabuhan
kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka berbaur dengan kebudayaan penduduk asli
yng kemudian menyebut diri mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini, kita
mengenal kesenian cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya
Cina dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi. Musik
Tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya
menggunakan alat musik khas Cina, seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan
pakaian pengantin Betawi, yang mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti
yang berkuasa di Cina pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak
yang berasal dari serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe),
dan teh (tee).
Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa
dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf
telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sebagai berikut :
Pertama,
di kota-kota pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari
keluarga-keluarga campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa.
Sumber-sumber sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16
sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota-kota pantai Utara Jawa. Disamping
Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya.
Kedua,
banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama
Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.
Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita-cita untuk menyamai
Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak
terakhir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras-kerasnya
nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan menjadi
’segundo Turco’ (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I
dengan kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau telah mengunjungi Turki.
Sumber-sumber Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak
orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua
nama-nama tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa.
Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong
Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan
Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan
Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus
dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri,
Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai
Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan
besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut
tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han,
makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur
dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda
tetapi memihak pemberontak ketika orang-orang Tionghoa di Semarang berontak
melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta
(Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing).
Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah
cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal
sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak
Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri
adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.
Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok
terjadi pada tahun 1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu,
Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral
Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah
pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur. Ketika
pada tahun 1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho,
beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi
(menurut prof. Muljana orang-orang Arab). Belum ada Muslimin Pribumi.
Pada tahun 1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik
sebagai kota makmur dikuasai oleh orang-orang Muslim asal luar Jawa. Pada tahun
1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk
menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu
beliau mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah
bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat
kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok. Hingga jaman
pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan
‘kyai’ untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam.
Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tersebut peninggalan
jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian ’suhu,
Saihu’. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo
mazhab ‘Syi’ bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.
Akulturasi Budaya
Interaksi orang-orang Tionghoa dengan masyarakat pribumi
turut mempengaruhi budaya antar keduanya dan melahirkan kebudayaan baru yang
menambah khasanah kebudayaan Indonesia. Apa saja hasil-hasil kebudayaan baru
sebagai proses akulturasi dua kebudayaan itu?
1.
Arsitektur. Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat
pada bentuk mesjid-masjid di Jawa terutama di daerah-daerah pesisir bagian
Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab
(sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan
permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai
Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi dan/atau
Syià dan ini bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad
ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama
Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk
Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz
Khan.
2.
Sastra. Banyak hasil sastra yang dihasilkan
bangsa Tionghoa di P. Jawa juga sebaliknya terjemahan yang diterbitkan di
Tiongkok berasal dari Indonesia ke bahasa mandarin. Misalnya, cerita roman
paling populer adalah cerita Saan Pek Ing Tai, di Jawa Barat Populer karya Lo
Fen Koi. Cerita-cerita silat misalnya, Pemanah Rajawali, Golok Pembunuh Naga,
Putri Cheung Ping, Kera Sakti, dan Sepuluh pintu Neraka. Puisi yang diciptakan
penyair Tiongkok kuno pernah diterjemahkan sastrawan Indonesia, HB Jasin.
Sedangkan di dunia novel kita sudah cukup akrab dengan karya Marga T, yang
banyak mengambil latar belakang negeri Tiongkok.
3.
Bahasa. Menurut Profesor Kong Yuaanzhi
terdapat 1046 kata pinjaman bahasa Tionghoa yang memperkaya bahasa Melayu /
Indonesia dan 233 kata pinjaman Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Tiong Hoa.
Misalnya jenis alas kaki dari kayu Bakiak, kodok(jawa) asal dari nama Kauw Tok,
Kap Toa menjadi Ketua.
4.
Kesenian. Pertukaran musik dan tari telah
dilangsungkan sejak jaman Dinasti Tang (618-907). Alat musik seperti Gong dan
caanang, Erhu (rebab Tiongkok senar dua), suling, kecapi telah masuk dan
menjadi alat musik daerah di Indonesia. Gambang Keromong merupakan perpaduan
antara musik jawa dan Tiongkok, pada mulanya dalah musik tradisional dari
Betawi dan digunakan untuk mengiringi upacara sembahyang orang keturunan
Tionghoa, kemudian menjadi musik hiburan rakyat. Wayang Ti-Ti atau Po The Hie,
adalah wayang yang memakai boneka kayu dimakain dengan keterampilan jari
tangan,dimainkan saat menyambut hari besar di upacara keagamaan orang Tiong Hoa.
5.
Olahraga. Misalnya olahraga pernapasan Wei Tan
Kung kini menjadi Persatuan Olahraga Pernapasan Indonesia, Olahaga pernapasan
Tai Chi menjadi Senam Tera Indonesia, olahraga bela diri Kung Fu yang populer
di Indonesia.
6.
Adat
Istiadat. Upacara minum teh yang disuguhkan kepada tamu sudah cukup
populer di Jawa dengan mengganti teh dengan kopi. Kemudian tradisi saling
berkunjung dengan memberikan jajanan atau masakan pada hari-hari raya, dan
tradisi membakar petasan saat lebaran.
Dengan bukti-bukti kekayaan kebudayaan Indonesia hasil
akulturasi dengan bangsa Tiongkok serta besarnya kontribusi Bangsa Tiongkok
terhadap perjalanan sejarah Indonesia cukup menjadi alasan, mengapa kita harus
menyambut baik pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap
bangsa Tionghoa. Sebab kini, tidak perlu lagi memperdebatkan dikotomi warga
keturunan Tionghoa dengan masyarakat pribumi, karena mereka adalah satu
kesatuan NKRI.
No comments:
Post a Comment